Cerita 3



Poso kota agama-agama langit dan multi etnis

Seperti kebanyakan anak muda Poso, kehidupan spiritualku biasa-biasa saja. Aku tidak begitu rajin beribadah di gereja, dan tidak begitu aktif mengikuti organisasi pemuda gereja. 
Aku malah lebih banyak aktif di sebuah sanggar seni di Poso. 
Di sanggar ini, aku banyak belajar tentang budaya, adat maupun tradisi dari suku-suku yang mendiami tana Poso. 
Sanggar seni ini sering mementaskan cerita rakyat dalam bentuk teater. 
Cerita rakyatnya ditulis lewat penggalian-penggalian mendalam melalui nara sumber-nara sumber yang ada di komunitas.

 Banyak nilai-nilai hidup yang aku pelajari dari cerita rakyat yang kami pentaskan.  Dalam diskusi-diskusi di sanggar ini aku belajar tentang sejarah kota Poso dan suku-suku yang mendiaminya.
Di sanggar ini juga aku mendengar Maklumat Raja Talasa Tua ,seorang Raja yang berkuasa dan memerintah di Kota Poso.

 Maklumat itu ditulis dan dibacakan pada hari selasa, tanggal 11 Mei 1947, pukul 09.00 bertempat di kantor Raja Poso yang berkata ”Tomini bere’e wanyanya, Komi to Ara, Komi to Sina, Komi to Djawa, Komi to Manado, Komi to Gorontalo, Komi to Parigi, Komi To Kaili, Komi to Todjo, Komi to Ampana, Komi to Boengkoe, Komi to Bugi-to Wotoe, Komi to Makassar. Ane bare’e ndiloeloe songkakoe ndipewalili madago-dago ri tanami-ri lipoemi. Tana Poso bare’e maja ndadaasi, tana Poso bare’e maja ndadaasi.” 

Yang artinya, “Laut/Teluk Tomini tidak ada pagarnya. Hai kamu orang Arab, hai kamu orang Cina, hai kamu orang Jawa, hai kamu orang Manado, hai kamu orang Gorontalo, hai kamu orang Parigi, hai kamu orang Kaili, hai kamu orang Tojo, hai kamu orang Bungku, hai kamu orang Bugis-orang Wotu, hai kamu orang Makassar.
 Jika kamu tidak mentaati perintahku kamu boleh pulang baik-baik ke kampung halamanmu, karena tana Poso tidak boleh dikotori dengan darah.”

 Maklumat ini mencerminkan keterbukaan orang Poso terhadap kedatangan orang-orang dari suku lain. Pada jaman sebelum kedatangan Belanda, sebagian besar sub-etnis yang mendiami Poso  secara politis tunduk di bawah Kerajaan Luwu di Palopo Sulawesi Selatan.
Tiap tahun utusan-utusan suku-suku ini pergi ke Luwu untuk mempersembahkan upeti kepada Datu Luwu. Upeti yang berbentuk ayam putih berkaki kuning, beras terbaik, dan saguer atau tuak manis. Dengan demikian mereka mendapat perlindungan dari Datu Luwu.

Perjumpaan antar agama samawi sudah lama terjadi di Poso. 
Hal itu dibuktikan ketika  Belanda datang ke Poso membawa misi mengkristenkan, penginjil Belanda yang juga seorang Antropolog, A.C Kruyt, bertemu dengan seorang tokoh masyarakat yang bernama Baso Ali yang memeluk agama Islam.
 Perjumpaan terjadi di Mapane, sebuah daerah pesisir pantai yang waktu itu menjadi pusat perniagaan dan pemukiman di Poso. 

Baso Ali mengatakan: ”Jika  kedatangan Tuan  bermaksud menyebarkan agama, silahkan Tuan ke pedalaman. Di sana saudara-saudara kita masih beragama suku. Kami di sini sudah beragama. Kami memeluk agama islam.” 
A.C Kruyt kemudian melanjutkan misinya ke daerah pedalaman sub etnis Pebato dan berhasil melakukan pembabtisan di sana. 

Dalam catatan sejarah, pembaptisan itu terjadi pada Tahun 1909. Orang pertama yang dibaptis di Poso bernama Papa i Wunte dan Ine Maseka.
 Mereka adalah pemimpin-pemimpin di komunitasnya. Butuh waktu cukup lama bagi  Belanda untuk bisa menyebarkan agama kristen. 
Kurang lebih tujuh belas tahun, dari tahun 1892 sampai dengan pembaptisan pertama 1909.  A.C Kruyt melakukan penelitian antropologi sebelum melakukan pembaptisan pertama.

 Penyebaran agama kristen di Tana Poso diikuti dengan penundukan para pemimpin suku yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda.
 Ada beberapa tokoh yang menjadi korban ekspansi  Belanda ini. Mereka ditangkap, diasingkan, atau terbunuh dalam perlawanan. 

Tokoh-tokoh ini seperti Tabatoki yang menolak membayar pajak kepada Belanda,dan memimpin perang gerilya melawan Belanda dengan sekitar 35 orang pengikutnya. 
  Perang itu berlangsung dari Tahun 1905 sampai Tahun 1909. Dia tertangkap oleh Belanda saat dalam keadaan sakit, di pinggiran sungai Poso.
 Dalam tahanan dia tetap tidak mau bekerja sama dengan Belanda,melakukan mogok makan, dan mati dalam tahanan.

 Tampayau seorang bangsawan dari daerah Danau Poso yang mati di Tando Bone, sebuah daerah di pinggiran danau Poso, dalam upayanya meloloskan diri dari Belanda. 
Dia melawan seorang diri ketika Belanda hendak menangkapnya.

Bagi suku  kami, To Pekurehua,  orang di Poso punya penyebutan lain yakni To Napu atau orang Napu. Pada saat Belanda datang, meletus  perang Peore antara Belanda dan Suku Pekurehua pada Tahun 1907.
 Perang ini dipicu oleh penyerangan kelompok suku Pekurehua pada sebuah kapal dagang sekutu Belanda yang berlabuh di daerah Tambarana, Poso pesisir, di mana mereka merampok dan membunuh nahkoda kapal.

 Belanda marah dan menyerang ke daerah Pekurehua. Perang ini  memakan banyak korban jiwa. Setelah Belanda memenangkan perang, terjadilah penangkapan-penangkapan terhadap orang-orang tua yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda. 
Ada beberapa orang tua yang ditawan dan diasingkan Belanda seperti Umana Lolo, Soli, dan lain-lain. Belanda kemudian mengangkat Raja yang bisa bekerja sama dengan mereka. 

Setelah itu  Belanda menciptakan kelompok elit baru dalam masyarakat, untuk mengurangi pengaruh para bangsawan di komunitasnya. 
Elit-elit baru ini adalah orang-orang yang disekolahkan dan dididik oleh Belanda.
 Kebanyakan mereka menjadi guru, pendeta maupun pegawai-pegawai Belanda.
 Kaum terdidik menjadi bangsawan baru di komunitas.

 Guru-guru awal yang datang ke Poso adalah orang-orang dari suku Minahasa,mereka mengajar di Sekolah Rakyat yang di buka oleh Belanda Tahun 1905 di daerah Kasiguncu Distrik Pebato,atau Kecamatan Poso Pesisir sekarang.

Agama-agama suku  di tana Poso mengakar cukup kuat dalam komunitas-komunitas sub etnis yang hidup di Poso. Mo Walia, Mo Wurake, Mo Anitu adalah nama-nama agama suku itu.  
Tuhan dalam agama suku ini digambarkan melalui unsur-unsur alam. 
Di atas semua Tuhan itu ada satu Tuhan yang tertinggi. 

Pendeta atau imamnya di sebut To Po Walia, To Po Wurake  atau Tando Wurake, serta To Moanitu. Sebagian besar pendeta atau imam dalam agama suku ini adalah perempuan. 
Para pendeta dan imam ini memegang peran sangat penting dalam struktur kehidupan masyakat. Merekalah yang mengatur daur hidup maupun pengelolaan ruang hidup.

Mereka yang menentukan kapan harus menanam, kapan harus memanen, kapan harus berburu, maupun kapan harus berperang atau mengayau. 
Semua hal itu dilakukan dengan ritual agama suku. Ketika agama-agama Samawi masuk ke tana Poso, banyak sub-sub etnis yang menolak agama-agama ini.
 Para pemeluk agama suku ini kemudian menyingkir ke hutan-hutan di wilayah Kabupaten Tojo Una-una dan Kabupaten Morowali, sampai sekarang.
 Penyebutan untuk mereka adalah Tau Ta’a Wana atau To Wana.

Suku-suku di Poso punya kearifan dalam mengelola ruang kehidupan mereka.
 Konsep pembagian zonasi wilayah hutan adalah satu contoh yang masih bisa ditemukan sampai hari ini di beberapa komunitas di Poso.

 Pembagian zonasi itu berdasarkan zona perlindungan dan zona pemanfaatan. 
Wilayah zonasi itu memiliki nama-nama tertentu seperti wana: daerah yang sama sekali tidak boleh disentuh dan tidak boleh ada aktifitas manusia di situ. 
Daerah ini biasanya bersifat sakral bagi komunitas. 

Kemudian Yopo daerah bekas kebun nenek moyang yang sudah sangat lama ditinggalkan dengan pohon-pohon besar.
 Pemanfaatan wilayah ini adalah sebagai wilayah berburu dan mengambil rotan, damar, serta tanaman obat, selain juga dijadikan sebagai wilayah untuk cadangan kebun. 
Yang membedakan yopo dengan wana adalah: di yopo kita masih bisa menemukan tumbuhan buah-buahan yang pernah ditanam nenek moyang, seperti durian dan langsat.

 Lalu ada juga zonasi pangale, tempat masyarakat menanam padi ladang. Dan juga dijadikan sebagai daerah cadangan ladang, pada sistem peladangan  gilir balik. 
Biasanya setelah dimanfaatkan selama lima atau enam kali panen, zonasi ini akan ditinggalkan sampai kira-kira sepuluh  tahun atau lebih, baru kemudian dimanfaatkan kembali.
 Dengan cara itu, masyarakat mempunyai konsep memberikan tanah kesempatan untuk memulihkan diri. 
Daerah ini biasanya berbentuk hutan muda dengan pohon-pohonnya yang kecil.

Ada juga wilayah bonde atau kebun, di mana masyarakat menanam tanaman tahunan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
 Selain ditanami tanaman tahunan, di wilayah bonde juga ada area yang dipergunakan untuk menanam palawija seperti sayuran, rempah-rempah, dan lain-lain.

 Ada juga beberapa area yang tidak akan dimanfaatkan untuk kebun dan tetap dibiarkan berhutan, karena  akan berakibat buruk pada manusia. 
Area seperti itu biasanya berada pada tingkat kemiringan atau kecuraman yang tinggi, dan mudah terjadi longsor. Juga area-area yang mempunyai mata air.

 Lalu ada juga zonasi yang disebut waka lipu atau bekas kampung orang-orang tua jaman dahulu. Zonasi ini biasanya terdapat dalam zonasi yopo. 
Hubungan zonasi ini dengan masyarakat lebih bersifat spiritual, karena di wilayah ini terdapat kuburan para nenek moyang .

 Belanda berperan dalam memindahkan orang-orang di Poso dari kampung-kampung tua yang biasanya terletak di pegunungan, ke daerah pinggiran jalan raya. Besar kemungkinan hal itu dilakukan untuk memudahkan kontrol Belanda terhadap masyarakat Poso.

 Zonasi terakhir adalah lipu atau kampung. Di sinilah masyarakat tinggal dan hidup.
Di beberapa sub-etnis suku Pamona  memiliki kalender musim yang masih digunakan. 
Kalender musim ini mengatur masa menanam, memanen, memetik buah yang akan dijadikan bibit atau benih, memancing, mencari ikan di malam hari yang oleh suku Pamona disebut monyilo
Juga pengaturan tentang berburu  rusa dan babi hutan, mengambil ramuan rumah dan sebagainya. 

Adalah perhitungan bulan di langit yang menjadi dasar dari kalender musim itu. Di sebuah desa yang agak terpencil aku pernah bertemu dengan orang tua yang masih memegang tradisi pengelolaan hidupnya berdasarkan kalender musim ini.
 Aku bertanya mengapa hitungan bulan di langit yang menjadi patokan. Penjelasannya sangat sederhana: musim bisa berubah, sementara siklus bulan di langit, dari jaman dahulu sampai hari ini, tidak pernah berubah.

Pengetahuan-pengetahuan itulah yang aku pelajari dari percakapan dengan orang-orang tua, saat berkunjung ke kampung-kampung untuk mempelajari budaya dan adat istiadat yang berlaku di Poso. Suku-suku yang mendiami wilayah Kabupaten Poso tidak memiliki tradisi sejarah tulis.
 Sejarah yang hidup di masyarakat adalah sejarah tutur.

 Tidak mudah membedakan cerita yang diturunkan secara turun temurun: apakah sebuah legenda atau fakta sejarah?
 Hanya tulisan-tulisan di lontara kerajaan Luwu dan catatan-catatan beberapa peneliti Belanda yang menjadi sumber acuan untuk membedakan sejarah dan legenda, walaupun perbedaan antara keduanya tidaklah jauh-jauh amat.

Seperti legenda tentang nenek moyang Suku Pamona Ngkai Lasae’o yang turun dari kayangan dan menikah dengan nenek Rumongi yang adalah manusia di bumi. 
Orang Pamona percaya bahwa Ngkai Lasae’o adalah manusia yang turun dari kayangan. Sementara dari tulisan lontara kerajaan Luwu Lasae’o adalah manusia juga yang pernah memerintah di kerajaan Luwu, jauh sebelum agama-agama samawi masuk.
 Gelar orang tua ini adalah Pua Lasae’o Dotu Ri Poumona.


Hal lain yang mendorongku mempelajari semua itu, termasuk sejarah asal-usulku, karena pada masa SMA aku sering diolok-olok sebagai orang yang tidak jelas sukunya. 
Ayah suku Sangihe dan Ibu orang Pekurehua.

 Kegelisahan dan keinginan  dalam mencari akar dan identitas diri selalu menjadi obsesi orang-orang berdarah campuran, seperti aku.
 Maka aku selalu mengatakan bahwa aku adalah generasi baru. Karena aku lahir dan besar di Kota Poso, akulah To Poso atau orang Poso.


Akhir maret 2017
Penulis Jimmy Methusala

Comments