Poso kota agama-agama langit dan multi
etnis
Seperti kebanyakan anak muda Poso, kehidupan
spiritualku biasa-biasa saja. Aku tidak begitu rajin beribadah di gereja, dan
tidak begitu aktif mengikuti organisasi pemuda gereja.
Aku malah lebih banyak
aktif di sebuah sanggar seni di Poso.
Di sanggar ini, aku banyak belajar
tentang budaya, adat maupun tradisi dari suku-suku yang mendiami tana Poso.
Sanggar seni ini sering mementaskan cerita rakyat dalam bentuk teater.
Cerita
rakyatnya ditulis lewat penggalian-penggalian mendalam melalui nara sumber-nara
sumber yang ada di komunitas.
Banyak nilai-nilai hidup yang aku pelajari dari
cerita rakyat yang kami pentaskan. Dalam
diskusi-diskusi di sanggar ini aku belajar tentang sejarah kota Poso dan
suku-suku yang mendiaminya.
Di sanggar ini juga aku mendengar Maklumat
Raja Talasa Tua ,seorang Raja yang
berkuasa dan memerintah di Kota Poso.
Maklumat itu ditulis dan dibacakan pada hari selasa, tanggal 11 Mei 1947, pukul 09.00 bertempat di kantor
Raja Poso yang berkata ”Tomini bere’e wanyanya, Komi to Ara, Komi to Sina,
Komi to Djawa, Komi to Manado, Komi to Gorontalo, Komi to Parigi, Komi To
Kaili, Komi to Todjo, Komi to Ampana, Komi to Boengkoe, Komi to Bugi-to Wotoe,
Komi to Makassar. Ane bare’e ndiloeloe songkakoe ndipewalili madago-dago ri
tanami-ri lipoemi. Tana Poso bare’e maja ndadaasi, tana Poso bare’e maja
ndadaasi.”
Yang artinya, “Laut/Teluk Tomini tidak ada pagarnya. Hai kamu
orang Arab, hai kamu orang Cina, hai kamu orang Jawa, hai kamu orang Manado,
hai kamu orang Gorontalo, hai kamu orang Parigi, hai kamu orang Kaili, hai kamu
orang Tojo, hai kamu orang Bungku, hai kamu orang Bugis-orang Wotu, hai kamu
orang Makassar.
Jika kamu tidak mentaati perintahku kamu boleh pulang baik-baik
ke kampung halamanmu, karena tana Poso tidak boleh dikotori dengan darah.”
Maklumat ini mencerminkan keterbukaan orang Poso terhadap kedatangan orang-orang
dari suku lain. Pada jaman sebelum kedatangan Belanda, sebagian besar sub-etnis
yang mendiami Poso secara politis tunduk
di bawah Kerajaan Luwu di Palopo
Sulawesi Selatan.
Tiap tahun utusan-utusan suku-suku ini
pergi ke Luwu untuk mempersembahkan upeti kepada Datu Luwu. Upeti yang
berbentuk ayam putih berkaki kuning, beras terbaik, dan saguer atau tuak manis.
Dengan demikian mereka mendapat perlindungan dari Datu Luwu.
Perjumpaan antar agama
samawi sudah lama terjadi di Poso.
Hal itu dibuktikan ketika Belanda datang ke Poso membawa
misi mengkristenkan, penginjil Belanda yang juga seorang Antropolog, A.C Kruyt,
bertemu dengan seorang tokoh masyarakat yang bernama Baso Ali yang memeluk
agama Islam.
Perjumpaan terjadi di Mapane, sebuah daerah pesisir pantai yang
waktu itu menjadi pusat perniagaan dan pemukiman di Poso.
Baso Ali mengatakan:
”Jika kedatangan Tuan bermaksud menyebarkan agama, silahkan Tuan ke
pedalaman. Di sana saudara-saudara kita masih beragama suku. Kami di sini sudah
beragama. Kami memeluk agama islam.”
A.C Kruyt kemudian melanjutkan misinya ke
daerah pedalaman sub etnis Pebato dan berhasil melakukan pembabtisan di sana.
Dalam catatan sejarah, pembaptisan itu terjadi pada Tahun 1909. Orang pertama
yang dibaptis di Poso bernama Papa i Wunte dan Ine Maseka.
Mereka adalah
pemimpin-pemimpin di komunitasnya. Butuh waktu cukup lama bagi Belanda untuk bisa menyebarkan agama kristen.
Kurang lebih tujuh belas tahun, dari tahun 1892 sampai dengan pembaptisan
pertama 1909. A.C Kruyt melakukan
penelitian antropologi sebelum melakukan pembaptisan pertama.
Penyebaran agama
kristen di Tana Poso diikuti dengan penundukan para pemimpin suku yang tidak
mau bekerja sama dengan Belanda.
Ada beberapa tokoh yang menjadi korban
ekspansi Belanda ini. Mereka ditangkap,
diasingkan, atau terbunuh dalam perlawanan.
Tokoh-tokoh ini seperti Tabatoki
yang menolak membayar pajak kepada Belanda,dan memimpin perang gerilya melawan Belanda dengan sekitar 35 orang pengikutnya.
Perang itu berlangsung dari Tahun 1905 sampai
Tahun 1909. Dia tertangkap oleh Belanda saat dalam keadaan sakit, di pinggiran
sungai Poso.
Dalam tahanan dia tetap tidak mau bekerja sama dengan
Belanda,melakukan mogok makan, dan mati dalam tahanan.
Tampayau seorang bangsawan dari daerah Danau Poso yang mati
di Tando Bone, sebuah daerah di pinggiran danau Poso, dalam upayanya meloloskan
diri dari Belanda.
Dia melawan seorang diri ketika Belanda hendak menangkapnya.
Bagi suku kami, To Pekurehua, orang di Poso punya penyebutan lain yakni To
Napu atau orang Napu. Pada saat Belanda datang,
meletus perang Peore antara Belanda dan
Suku Pekurehua pada Tahun 1907.
Perang ini dipicu oleh penyerangan kelompok suku Pekurehua pada sebuah
kapal dagang sekutu Belanda yang berlabuh di daerah Tambarana, Poso pesisir, di
mana mereka merampok dan membunuh nahkoda kapal.
Belanda marah dan menyerang ke
daerah Pekurehua. Perang ini memakan
banyak korban jiwa. Setelah Belanda memenangkan perang, terjadilah
penangkapan-penangkapan terhadap orang-orang tua yang tidak mau bekerja sama
dengan Belanda.
Ada beberapa orang tua yang ditawan dan diasingkan Belanda
seperti Umana Lolo, Soli, dan lain-lain. Belanda kemudian mengangkat Raja yang
bisa bekerja sama dengan mereka.
Setelah itu
Belanda menciptakan kelompok elit baru dalam masyarakat, untuk
mengurangi pengaruh para bangsawan di komunitasnya.
Elit-elit baru ini adalah
orang-orang yang disekolahkan dan dididik oleh Belanda.
Kebanyakan mereka
menjadi guru, pendeta maupun pegawai-pegawai Belanda.
Kaum terdidik menjadi bangsawan
baru di komunitas.
Guru-guru awal yang datang ke Poso adalah orang-orang dari
suku Minahasa,mereka mengajar di
Sekolah Rakyat yang di buka oleh Belanda Tahun 1905 di daerah Kasiguncu Distrik
Pebato,atau Kecamatan Poso Pesisir sekarang.
Agama-agama suku di tana Poso mengakar cukup kuat dalam
komunitas-komunitas sub etnis yang hidup di Poso. Mo Walia, Mo Wurake, Mo
Anitu adalah nama-nama agama suku itu.
Tuhan dalam agama suku ini digambarkan melalui unsur-unsur alam.
Di atas
semua Tuhan itu ada satu Tuhan yang tertinggi.
Pendeta atau imamnya di sebut To
Po Walia, To Po Wurake atau Tando
Wurake, serta To Moanitu. Sebagian besar pendeta atau imam dalam
agama suku ini adalah perempuan.
Para pendeta dan imam ini memegang peran
sangat penting dalam struktur kehidupan masyakat. Merekalah yang mengatur daur
hidup maupun pengelolaan ruang hidup.
Mereka yang menentukan kapan harus
menanam, kapan harus memanen, kapan harus berburu, maupun kapan harus berperang
atau mengayau.
Semua hal itu dilakukan dengan ritual agama suku. Ketika
agama-agama Samawi masuk ke tana Poso, banyak sub-sub etnis yang menolak
agama-agama ini.
Para pemeluk
agama suku ini kemudian menyingkir ke hutan-hutan di
wilayah Kabupaten Tojo Una-una dan Kabupaten Morowali, sampai sekarang.
Penyebutan untuk mereka adalah Tau Ta’a Wana atau To Wana.
Penyebutan untuk mereka adalah Tau Ta’a Wana atau To Wana.
Suku-suku di Poso punya kearifan dalam
mengelola ruang kehidupan mereka.
Konsep pembagian zonasi wilayah hutan adalah
satu contoh yang masih bisa ditemukan sampai hari ini di beberapa komunitas di
Poso.
Pembagian zonasi itu berdasarkan zona perlindungan dan zona pemanfaatan.
Wilayah zonasi itu memiliki nama-nama tertentu seperti wana: daerah yang
sama sekali tidak boleh disentuh dan tidak boleh ada aktifitas manusia di situ.
Daerah ini biasanya bersifat sakral bagi komunitas.
Kemudian Yopo daerah bekas
kebun nenek moyang yang sudah sangat lama ditinggalkan dengan pohon-pohon
besar.
Pemanfaatan wilayah ini adalah sebagai wilayah berburu dan mengambil
rotan, damar, serta tanaman obat, selain juga dijadikan sebagai wilayah untuk
cadangan kebun.
Yang membedakan yopo dengan wana adalah: di yopo
kita masih bisa menemukan tumbuhan buah-buahan yang pernah ditanam nenek
moyang, seperti durian dan langsat.
Lalu ada juga zonasi pangale, tempat
masyarakat menanam padi ladang. Dan juga dijadikan sebagai daerah cadangan
ladang, pada sistem peladangan gilir
balik.
Biasanya setelah dimanfaatkan selama lima atau enam kali panen, zonasi
ini akan ditinggalkan sampai kira-kira sepuluh
tahun atau lebih, baru kemudian dimanfaatkan kembali.
Dengan cara itu,
masyarakat mempunyai konsep memberikan tanah kesempatan untuk memulihkan
diri.
Daerah ini biasanya berbentuk hutan muda dengan pohon-pohonnya yang kecil.
Daerah ini biasanya berbentuk hutan muda dengan pohon-pohonnya yang kecil.
Ada juga wilayah bonde atau kebun, di
mana masyarakat menanam tanaman tahunan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Selain ditanami tanaman tahunan, di wilayah bonde juga ada area yang
dipergunakan untuk menanam palawija seperti sayuran, rempah-rempah, dan
lain-lain.
Ada juga beberapa area yang tidak akan dimanfaatkan untuk kebun dan
tetap dibiarkan berhutan, karena akan
berakibat buruk pada manusia.
Area seperti itu biasanya berada pada tingkat
kemiringan atau kecuraman yang tinggi, dan mudah terjadi longsor. Juga
area-area yang mempunyai mata air.
Lalu ada juga zonasi yang disebut waka lipu
atau bekas kampung orang-orang tua jaman dahulu. Zonasi ini biasanya terdapat
dalam zonasi yopo.
Hubungan zonasi ini dengan masyarakat lebih bersifat
spiritual, karena di wilayah ini terdapat kuburan para nenek moyang .
Belanda
berperan dalam memindahkan orang-orang di Poso dari kampung-kampung tua yang
biasanya terletak di pegunungan, ke daerah pinggiran jalan raya. Besar
kemungkinan hal itu dilakukan untuk memudahkan kontrol Belanda terhadap
masyarakat Poso.
Zonasi terakhir adalah lipu atau kampung. Di sinilah
masyarakat tinggal dan hidup.
Di beberapa sub-etnis suku Pamona memiliki
kalender musim yang masih digunakan.
Kalender musim ini mengatur masa menanam,
memanen, memetik buah yang akan dijadikan bibit atau benih, memancing, mencari
ikan di malam hari yang oleh suku Pamona disebut monyilo.
Juga
pengaturan tentang berburu rusa dan babi
hutan, mengambil ramuan rumah dan sebagainya.
Adalah perhitungan bulan di
langit yang menjadi dasar dari kalender musim itu. Di sebuah desa yang agak
terpencil aku pernah bertemu dengan orang tua yang masih memegang tradisi
pengelolaan hidupnya berdasarkan kalender musim ini.
Aku bertanya mengapa
hitungan bulan di langit yang menjadi patokan. Penjelasannya sangat sederhana:
musim bisa berubah, sementara siklus bulan di langit, dari jaman dahulu sampai
hari ini, tidak pernah berubah.
Pengetahuan-pengetahuan
itulah yang aku pelajari dari percakapan dengan orang-orang tua, saat
berkunjung ke kampung-kampung untuk mempelajari budaya dan
adat istiadat yang berlaku di Poso. Suku-suku yang mendiami wilayah Kabupaten
Poso tidak memiliki tradisi sejarah tulis.
Sejarah yang hidup di masyarakat
adalah sejarah tutur.
Tidak mudah membedakan cerita yang diturunkan secara
turun temurun: apakah sebuah legenda atau fakta sejarah?
Hanya tulisan-tulisan
di lontara kerajaan Luwu dan catatan-catatan beberapa peneliti Belanda yang
menjadi sumber acuan untuk membedakan sejarah dan legenda, walaupun perbedaan
antara keduanya tidaklah jauh-jauh amat.
Seperti legenda tentang nenek moyang Suku Pamona Ngkai Lasae’o
yang turun dari kayangan dan menikah dengan nenek Rumongi yang adalah manusia
di bumi.
Orang Pamona percaya bahwa Ngkai Lasae’o adalah manusia yang
turun dari kayangan. Sementara dari tulisan lontara kerajaan Luwu Lasae’o
adalah manusia juga yang pernah memerintah di kerajaan Luwu, jauh sebelum
agama-agama samawi masuk.
Gelar orang tua ini adalah Pua Lasae’o Dotu Ri
Poumona.
Hal lain yang mendorongku mempelajari semua
itu, termasuk sejarah asal-usulku, karena pada masa SMA aku sering diolok-olok
sebagai orang yang tidak jelas sukunya.
Ayah suku Sangihe dan Ibu orang
Pekurehua.
Kegelisahan dan keinginan
dalam mencari akar dan identitas diri selalu menjadi obsesi orang-orang
berdarah campuran, seperti aku.
Maka aku selalu mengatakan bahwa aku adalah
generasi baru. Karena aku lahir dan besar di Kota Poso, akulah To Poso
atau orang Poso.
Akhir maret 2017
Penulis Jimmy Methusala
Comments
Post a Comment