Desa Watutau 1911 |
Padang To Pekurehua |
Penyebutan orang Pekurehua menjadi Orang Napu di karenakan pada saat perang antar suku Kerajaan Sigi tidak dapat mengalahkan mereka dalam perang terbuka dan melakukan strategi untuk meracuni hulu sungai Lairiang.
Banyak kemudian orang Pekurehua dan orang Tawaelia yang menjadi korban dalam peristiwa ini. Oleh karena peristiwa itulah orang Sigi menyebut orang Pekurehua dengan sebutan "Naopumo" yang artinya "sudah habis". Dari kata Naopumo penyebutan untuk orang Napu menjadi populer.
Beberapa peneliti asing kemudian tidak lagi menulis orang didataran tinggi ini dengan sebutan To Pekurehua tetapi dengan istilah atau bahasa To Napoe atau To Napu.
Raja Kabo 1920 |
Umana Baturu |
Bahkan dari penuturan orang-orang tua penyerangan yang di lakukan oleh orang Napu sampai ke wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
Kaudern dalam bukunya menyatakan bahwa penduduk dataran
tinggi ini, bagaimanapun, tampaknya bukanlah suku tunggal.
Selain itu, To
Napu sangat gencar dalam melakukan ekspedisi untuk menjarah ke seluruh wilayah
Poso-Toraja, dan membawa pulang sejumlah besar tahanan yang menjadi budak
mereka, yang kemudian dinikahkan dengan beberapa penduduk asli To Napu.
Pencampuran To Napoe dengan budak asing ini akhirnya menuju kepada asumsi bahwa
"hanya keluarga bangsawan Napu yang merupakan ras murni", dan lebih
dari lima puluh persen penduduk di wilayah Napu adalah budak dari daerah
lain.
A.C. Kruyt dalam buku karyanya —"De Bare'e-sprekende
Toradja's van Midden-Celebes"— bersama dengan Nicolaus Adriani, menyatakan
bahwa To Napu berasal dari arah utara, menguasai wilayah dataran tinggi dengan
mengikuti arah sungai Tambarana.
Dalam ilmu bahasa, Adriani menganggap To
Napoe sangat jelas berbeda dengan suku Toraja berbahasa Bare'e yang lainnya.
Dia memahami bahasa Napu, Behoa, Bada, dan Leboni dalam kelompok yang
disebutnya "Oost-Toradja'sche bergtalen" (bahasa gunung Timur
Toraja),
Kerbau di Lambara |
Selain berladang pada jaman dahulu orang napu juga terkenal sebagai suku peternak. Bahkan sampai sekarang mereka masih memelihara Tanah Komunal yang di peruntukan bagi peternakan desa.
Peternakan ini di sebut Lambara dan para penggembalanya di sebut Timboko.
Kata "Timboko" di ambil dari nama sejenis burung bangau yang selalu hinggap di punggung kerbau,untuk memakan kutu yang hidup di tubuh kerbau.
Tidak semua orang bisa untuk menjadi Timboko. Hanya orang-orang tertentu yang sudah melalui sebuah tata cara atau prosesi adat yang bisa untuk menjadi Timboko.
Kata "Timboko" di ambil dari nama sejenis burung bangau yang selalu hinggap di punggung kerbau,untuk memakan kutu yang hidup di tubuh kerbau.
Tidak semua orang bisa untuk menjadi Timboko. Hanya orang-orang tertentu yang sudah melalui sebuah tata cara atau prosesi adat yang bisa untuk menjadi Timboko.
Penulis Jimmy Methusala
Comments
Post a Comment