Cerita 2



Laut dan sungai tempat kami tumbuh. Bukit, hutan, dan padang ilalang yang mengajarkan kami hidup. Kami anak-anak bumi. Cucu dari Ngkai Lasae’o dan Nenek Rumongi(nenek moyang suku Pamona). Di saat purnama kami akan bermain di bawah bulan, atau duduk diam mendengar orang tua berkisah.

Mengingat Masa Kecil

Aku dilahirkan di Kota Poso pada bulan Juni tahun 1969. Aku anak tengah (ketiga) dari lima orang kakak beradik. Aku memiliki dua orang kakak dan dua orang adik. Aku tumbuh dan dibesarkan dalam sebuah keluarga sederhana. Masa sekolah dari TK, SD, SMP, dan SMA kuselesaikan di Poso. 

Aku memiliki banyak teman dari latar belakang suku, agama, dan kehidupan yang berbeda denganku. Orang tuaku tidak pernah membatasi kami dalam pergaulan, aku dibiarkan bebas memilih teman. Masa kecil kujalani dengan suka cita. 

Laut dan sungai menjadi tempatku bermain. Sore hari aku dan teman-teman sering melewatkan waktu dengan mandi di sungai Poso. Sungai ini berhulu di Danau Poso, mengalir melewati beberapa Desa dan Kecamatan, lalu membelah kota Poso menjadi dua bagian.

 Saat mandi di sungai aku dan teman-teman biasanya mengumpulkan pelepah daun pohon sagu, mengikatnya menjadi satu untuk dijadikan rakit. Ketika rakit selesai dibuat, kami akan menaikinya, menyusuri sungai Poso sampai ke muara menuju teluk Tomini.

 Ketika ada kapal yang masuk ke pelabuhan Poso, aku dan teman-teman akan beramai-ramai menuju ke sana. Menaiki kapal, melihat-lihat keadaan kapal sambil mengaguminya, kemudian kami akan saling mengajak untuk meloncat dari anjungan kapal terjun ke laut. 

Bila ada kawan yang tidak berani loncat, dia akan menjadi bahan olok-olok. Biasanya kami dikejar polisi karena keisengan itu. 
Beberapa kali aku mendapat hukuman dari orang tua karena kebiasaan itu.

Di belakang kampung  tempat kami tinggal, terdapat bukit-bukit berbentuk setengah lingkaran yang mengelilingi kampung. Di bukit inilah warga kampungku, dan juga warga kampung lain, berkebun. Tanah di bukit itu cukup subur. 

Cengkih, pala, kakao, kelapa, umbi-umbian, pisang, dan buah-buahan lain ditanam di situ. Kecuali ada beberapa tempat di bukit itu yang tidak ditanami apa-apa karena tanahnya tandus. Di tanah yang tandus itu ditumbuhi alang-alang dan beberapa pohon jati, juga beberapa pohon mangga besar.

 Kami sering mendaki bukit itu untuk bermain layangan atau memasang jerat burung yang dibuat dari tali senar pancing, atau pulut, sejenis getah pohon yang lengket. 
Jika burung hinggap dan bertengger pada pulut itu, akan sulit buatnya untuk melepaskan diri.

Bila musim cengkih berbuah tiba, aku dan teman-teman akan beramai-ramai membantu kawan yang memiliki kebun cengkih untuk memetik hasilnya. Selain mendapat upah, kami juga diizinkan untuk memungut buah-buah cengkih yang sudah jatuh di bawah pohon.

 Kebiasaan ini di sebut Meratu, yang artinya memungut buah yang  jatuh. Dan ketika musim buah mangga tiba, bukit itu pasti akan ramai, banyak anak-anak akan naik ke bukit untuk mencari mangga atau memanjat pohon mangga yang memang banyak tumbuh di sana.

Ayahku berasal dari suku Sangihe yang datang dari kota Manado untuk mengadu nasib ke kota Poso pada Tahun 50-an. Dia pernah menjadi ketua SBKMI ( Serikat Buruh Karyawan Maritim Indonesia) di pelabuhan Poso, dan kemudian menjadi ketua SPSI ( Serikat Pekerja Seluruh Indonesia ) Kabupaten Poso, sampai akhir hidupnya pada tahun 1995. 

Dulu, pelabuhan Poso sangat ramai. Tiap hari ada saja kapal datang dan bersandar di pelabuhan. Kapal-kapal barang dan penumpang dari kota-kota lain di Indonesia akan singgah di pelabuhan Poso, bahkan ada juga kapal dari luar negeri yang singgah. Kapal-kapal itu membongkar muatan di pelabuhan ini.

Sebagian besar rekan-rekan kerja ayah adalah buruh pelabuhan maupun buruh pada perusahaan-perusahaan kayu. Seperti ayah, mereka juga  pendatang dari sekitar pulau sulawesi, dan ada juga beberapa yang berasal dari pulau jawa.

 Mayoritas mereka beragama Islam. Saat Hari Raya Natal dan Tahun Baru, maupun acara pengucapan syukur, rumah kami akan dipenuhi rekan-rekan kerja ayah. Bahkan biasanya istri-istri dari rekan kerjanya datang untuk memasak di rumah kami. 

Begitupun di saat Lebaran, kami wajib mengunjungi teman-teman ayah, bersilaturahmi dengan mereka. Jika tidak sempat berkunjung, mereka yang akan ke rumah membawakan kue-kue dan makanan. Dari peristiwa-peristiwa itu aku belajar nilai-nilai Toleransi.

Dari seorang perempuan yang memelihara tradisi dan adat, aku dilahirkan. Ibuku perempuan sederhana dari suku Pekurehua (Napu). Dari beliau aku belajar tentang nilai-nilai dan tradisi suku kami. Ibu memiliki keluarga besar di kampungnya.

 Cerita-cerita epik tentang keberanian orang Pekurehua dalam berperang dengan suku-suku lain, sebelum agama-agama samawi masuk ke Tana Poso, aku dengar dari Ibu. Juga cerita tentang nenek moyang Ibu yang diasingkan Belanda karena tidak mau menyerah.
 Cerita-cerita yang menjadi pengantar tidurku ketika kecil.

Ketika SMP, aku dipindahkan ke kampung Ibu yang terletak di dataran tinggi, sebuah lembah besar yang dikelilingi hutan Taman Nasional Lore-Lindu. Di tengah-tengah lembah mengalir sungai Lairiang, sungai  terpanjang di pulau Sulawesi. 

Hulu sungai berada di hutan daerah ini, muaranya di Kabupaten Mamudju, Sulawesi Barat. Di lembah ini terdapat padang-padang rumput tempat penduduk menggembalakan ternak. 
Di padang-padang rumput dan hutan-hutan kecil dalam lembah ini, aku sering diajak keluargaku melihat peninggalan-peninggalan situs kebudayaan Megalitik yang ada di sana.

 Rupa-rupa peninggalan Megalitik ada di kampung ini. Ada lumpang batu yang diukir dengan ornamen binatang maupun tumbuhan, patung-patung manusia, tempayan dari batu, sarkofagus, dan banyak lagi yang lain. Setiap situs memiliki ceritanya sendiri yang hidup di kalangan masyarakat. Aku sangat mengagumi peninggalan nenek moyang ini.

Di rumah bibi aku tinggal, walau aku  lebih banyak menghabiskan waktu bersama kakek di rumahnya. Kakeklah yang banyak membentuk karakter dan kepribadianku. Kakek adalah seorang mantan kepala kampung dan seorang tokoh adat yang dihormati di komunitas suku kami. 

Pada saat-saat lowong  aku sering diajak kakek ke hutan mengambil rotan, atau ke padang-padang penggembalaan ternak, yang  kami sebut lambara. 
Kepemilikan lambara bersifat komunal. Satu kampung biasanya memiliki satu lambara. Kami sering pergi berjalan kaki beramai-ramai atau berkuda melintasi padang dan sabana di kampung ini.

Suhu udara di kampung ini sangat dingin. 
Jika malam tiba orang malas keluar rumah, kecuali ada keperluan mendesak. Mereka lebih banyak berkumpul di sekeliling  perapian di dapur untuk menghangatkan diri sambil bercakap-cakap. Kebiasaan berkumpul di perapian ini, di suku kami, disebut mamindu. 

Percakapan keluarga paling sering terjadi saat mamindu. Di mana para tetua akan duduk mengelilingi perapian, sambil minum kopi dan bicara berbagai macam hal
. Beberapa persoalan sering diselesaikan ketika mamindu.

Sepulang dari kebun atau sawah, kakek sering duduk di pinggir perapian di rumah panggungnya, sambil membuat gagang parang dari tanduk kerbau, tanduk sapi, maupun dari jenis-jenis kayu tertentu. 

Kakek membuat ornamen-ornamen ukiran yang indah pada gagang parang yang ia buat. Pada dinding dalam kamar tidurnya, banyak tergantung  parang-parang warisan para leluhur.
 Parang-parang itu punya ceritanya masing-masing. Di antaranya, dulu, parang-parang itu dipakai untuk berperang melawan suku-suku lain. 

Parang-parang itu kami sebut piho. Pada gagang-gagang piho itu terdapat hiasan dari rambut manusia, maupun dari gigi manusia yang dibunuh saat perang antar suku.
 Dari cerita-cerita kakek aku berkesimpulan bahwa pada suku kami, perang bukanlah untuk menguasai wilayah atau motif ekonomi. 

Bagi  suku kami perang lebih merupakan ekspresi perwujudan eksistensi suku secara komunal, dan merupakan bagian dari pengelolaan ruang hidup yang bersifat lahir maupun batin. 
Tak heran bila kemudian para Zending Belanda dalam buku maupun catatan yang mereka tulis menyimpulkan: suku Pekurehua atau Napu adalah gerombolan pengayau dan suku yang senang berperang.

Kakek  selalu mewanti-wanti untuk tidak sembarang mencabut piho-piho itu. Sebagai seorang remaja yang selalu gelisah dengan rasa ingin tahu, barang tentu aku cuek terhadap larangan tersebut.
 Jika kakek tidak ada di rumah aku sering mencabut piho-piho itu, untuk sekedar mengagumi logam maupun ornamen ukiran, dan membayangkan cerita-cerita yang telah dibuat piho-piho itu.

Aku sering diajak kakek ketika beliau menyelesaikan perkara adat yang terjadi dalam komunitas suku kami.
Kebanyakan perkara yang disidangkan terkait pelanggaran-pelanggaran moral, perselisihan tentang ternak dan tanah, perkawinan, maupun menyangkut daur hidup seperti musyawarah tentang penentuan waktu bercocok tanam, syukuran panen, juga  penentuan kapan harus menandai ternak yang ada di lambara.
Anak sapi atau kerbau harus ditandai sebagai milik perorangan atau milik keluarga. Proses menandai ternak ini biasa kami sebut dengan hambe
Seorang pemilik ternak punya tanda yang berbeda dari pemilik ternak lainnya.
 Ketika proses ini dilakukan pemilik-pemilik ternak akan beramai-ramai pergi ke  lambara, untuk menandai ternaknya. Lambara sendiri dijaga oleh para timboko

Para timboko adalah orang-orang yang diberi mandat  oleh seluruh komunitas untuk mengurus ternak. Para timbokolah yang tahu siapa pemilik anak sapi atau kerbau yang belum ditandai.  
Kata timboko  diambil dari nama sejenis burung bangau yang akrab dengan kerbau atau sapi.

 Burung ini punya kebiasaan hinggap di punggung sapi dan kerbau untuk memakan kutunya. 
Tidak semua orang dalam suku kami bisa menjadi timboko, hanya mereka yang memiliki darah dan turunan tertentu yang bisa menjadi timboko
Dan ada ritual adat yang harus dilewati sebelum seseorang ditetapkan sebagai timboko.

Sore hari aku dan sepupu-sepupu memandikan kuda-kuda di sungai yang berada di tengah-tengah kampung. Biasanya kami balapan kuda di sungai kemudian mandi sambil bermain kejar-kejaran atau bergulat di lumpur di pinggiran sungai.

 Sebagai suku peternak, kuda punya peranan penting sebelum Belanda masuk. Walaupun sebagian besar suku kami adalah peternak, ada juga kelompok-kelompok yang punya kebiasan berladang gilir balik. 
Para zending Belandalah yang kemudian mengajarkan sistem perladangan menetap. Kuda digunakan sebagai alat transportasi. Suku kami lama terisolasi dengan dunia luar. 
Dari masa sebelum Belanda masuk lembah Napu tahun 1907 sampai dengan awal tahun 1980 an, orang-orang suku kami menggantungkan hidupnya dari kuda-kuda ini.

Transportasi lain adalah pesawat cessna milik Zending yang muatannya sangat terbatas, dan hanya orang-orang yang memiliki uang yang dapat menggunakan transportasi ini.

Ketika kecil, rumah kami di Poso sering kedatangan saudara-saudara Ibu yang turun dari kampung untuk berniaga di Poso. Mereka membawa kuda sampai puluhan ekor. 
Kuda-kuda ini di muati beban hasil bumi seperti damar, dendeng hewan buruan, beras, dan sebaginya untuk dijual di kota Poso.

 Hasil penjualan digunakan untuk membeli keperluan rumah tangga. Kebiasaan ini disebut  pateke. Pateke sudah dilakukan lama sekali, bahkan sebelum Belanda masuk wilayah ini. 
Di awal tahun 1980-an, ketika jalan-jalan raya mulai dibuka, fungsi kuda sebagai alat transportasi mulai hilang digantikan kendaraan bermotor. 
Kuda-kuda kemudian banyak dijual kepada orang-orang dari Palu dan Manado di mana pembeli terbesarnya adalah orang-orang Minahasa.

Ketika musim tanam padi tiba kami beramai-ramai turun ke sawah untuk membantu orang-orang tua, menghalau rombongan kerbau kedalam petak sawah.
 Rombongan kerbau ini akan menginjak-nginjak sawah, sehingga alat bajak tidak di perlukan lagi, sebab lumpur di dalam sawah sudah cukup gembur untuk ditanami padi.
 Kebiasaan menghalau kerbau ini kami namakan paruja. 

Saat padi baru bunting atau sedang berbuah, aku dan teman-teman mengepung  petak sawah. Masing-masing memegang sebatang kayu, yang akan digunakan untuk dilempar mengusir burung-burung. Biasanya ada dua orang akan masuk ke dalam sebuah petak sawah. 
Tugas mereka mengusir burung. Sementara yang lain mengepung petak itu dengan menggenggam kayu.

 Jika burung terbang ke arah siapapun dalam rombongan. Orang terdekat dengan arah burung-burung terbang, akan siap melemparkan kayunya. Kebiasaan ini kami sebut morawo. 
Morawo agak berbahaya karenanya dibutuhkan kemampuan cermat untuk menghindar dari kayu-kayu yang dilempar. 

Banyak kejadian burungnya lolos, teman di samping malah yang kena kayu. Orang yang di beri tugas masuk kedalam petak sawah untuk mengusir burung, harus berhati-hati berjalan di antara padi, sebab padi akan rusak dan jika padi rusak,pemilik sawah akan marah.

Orang-orang  tua  di kampung, memperlakukan padi dengan hormat. Mereka sangat meyakini falsafah hidup para nenek moyang yang mengajarkan padi sebagai saudara manusia, dan padi juga memiliki jiwa yg disebut tano’ana pare, atau tano’ana pae.

Masa SMA aku jalani di Kota Poso. Inilah masa di mana aku bergaul lebih luas. Teman-temanku bukan hanya  dari  sekolah yang sama denganku, tetapi juga banyak dari sekolah-sekolah lain dan dari kampung-kampung tetangga.

 Mereka dari berbagai latar belakang suku, agama, dan kehidupan. Dari anak pejabat sampai anak buruh. Saat itu anak-anak muda Poso bergaul lintas kampung.
 Hampir semua anak-anak muda Poso memiliki grup atau geng sendiri yang anggotanya lintas kampung.

 Jika malam Minggu  kami sering berkumpul. Bernyanyi-nyanyi atau melewatkan waktu dengan bercakap-cakap, sambil menenggak minuman arak tradisional yang disebut Cap Tikus. 
Untuk kantong anak muda yang masih berstatus pelajar, hanya minuman ini yang bisa kami jangkau. Bagi kami di Poso,  meminum minuman keras merupakan hal biasa.

 Pada pesta-pesta perkawinan, syukuran panen, maupun hari raya, minuman keras harus selalu ada. Di hampir setiap Kelurahan di Poso, toko atau warungnya pasti menjual minuman keras.
 Bahkan di beberapa suku yang ada di Poso, minuman keras merupakan sajian, pada sebuah prosesi adat. 
Orang  yang bertikai karena pengaruh minuman keras, merupakan hal yang biasa terjadi.


Ketika desa-desa di sekitar kota Poso menyelenggarakan pesta syukuran hasil panen yang dalam bahasa lokal disebut padungku, beramai-ramai orang akan ke sana. 
Setiap rumah yang dimasuki, akan menjamu tamunya dengan makanan dan minuman, kendati tuan rumah tidak mengenal tamu tersebut.
Sudah menjadi tradisi di Poso pada acara padungku, setiap orang yang datang adalah saudara. Tuan rumah wajib menjamu tamu yang datang. 

Memasuki malam, acara padungku akan dilanjutkan dengan tarian masal yang di sebut modero. Gerak dan langkah dalam tarian ini sangat sederhana.
 Orang-orang berpegangan tangan. Membentuk  lingkaran  sambil bernyanyi, dengan diiringi gong dan gendang. 

Di sela-sela lagu biasa diisi kayori atau pantun, yang dinyanyikan oleh satuorang dan kemudian akan dinyanyikan ulang beramai-ramai oleh seluruh peserta tarian modero ini. 
Para pelantun kayori punya posisi penting dalam tarian massal ini. Merekalah yang mengatur  ritme tarian. 

Semua orang dapat terlibat dalam tarian. Biasanya ketika fajar menyingsing tarian akan dihentikan. Padungku merupakan simbol tentang bagaimana sifat keterbukaan orang Poso terhadap suku-suku lain yang tinggal dan menetap di tanah Poso.



Penulis jimmy methusala

Comments