Kota Poso jadi kota mati
Desember 1998, dengan menaiki bus penumpang,
aku melintasi kota Poso dari Gorontalo dengan tujuan kota Makassar. Saat
itu Poso baru saja dilanda kerusuhan sosial yang terjadi pada bulan Desember
1998.
Aku mengetahui hal itu dari siaran
TV dan berita yang ditulis beberapa media cetak lokal dan nasional.
Berita-berita yang kubaca menuliskan bahwa kerusuhan sosial di Poso dipicu oleh
perkelahian antar kelompok pemuda yang mabuk minuman keras.
Berita-berita itu tidak serta merta membuatku
percaya. Beberapa orang teman dan keluarga yang sempat ku telepon menceritakan
bahwa,perkelahian antar pemuda itu hanya sebagai pemicu saja. Politik local
memiliki andil dalam peristiwa ini.
Persaingan diantara para pejabat dalam berebut kursi pimpinan daerah,memiliki dampak
yang menciptakan segregasi antar suku,golongan maupun agama. Pemuda-pemuda itu
bertikai di saat yang kurang tepat. Saat itu umat Kristen sedang bersiap
merayakan Natal dan Umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa.
Perjalanan ini adalah sebuah
tugas yang diberikan pimpinan perusahaan tempatku bekerja. Aku
bekerja di sebuah perusahaan perikanan di kota Gorontalo. Kota Makassar menjadi pilihan perluasan
pemasaran produk perusahaan kami. Untuk menjajaki kemungkinan-kemungkinan itulah,
aku ke Makasar.
Siang yang panas matahari tepat di atas
kepala. Bus yang kutumpangi berjalan lamban. Jalanan tampak lengang, hanya
satu-dua kendaraan lewat. Beberapa kali truk yang mengangkut polisi dan tentara
berpapasan dengan kendaraan yang kutumpangi.
Di mana-mana asap masih membumbung
tinggi menghalangi pandangan. Aku sulit melihat keadaan dengan jelas dari kursi
tempatku duduk. Poso jadi begitu sunyi
seperti kota mati. Konsentrasi pasukan polisi dan TNI terlihat pada
perempatan-perempatan jalan. Suasana kota begitu mencekam. Ini kota di mana aku
lahir dan dibesarkan.
Kota ini menyimpan begitu banyak cerita yang selalu
membuatku rindu untuk pulang. Ibu dan saudara-saudaraku masih tinggal di kota
ini. Kabar terakhir yang aku dengar mereka ikut mengungsi bersama-sama penduduk
di kampung tempat kami tinggal. Nama kampungku adalah Kelurahan Lombugia. Tidak jelas di mana mereka
mengungsi.
Dari jendela mobil aku
melihat ibu-ibu, anak-anak, serta orang-orang lanjut usia sedang mengais-ngais
sesuatu pada sisa-sisa puing rumah. Mungkin mereka mencari barang yang masih
bisa dipakai, ucapku dalam hati.
Mobil
yang kutumpangi mulai memasuki daerah yang mengalami kerusakan paling
parah dalam kerusuhan itu, daerah kota tua yang menyimpan banyak sejarah. Aku
memperhatikan dengan teliti rumah-rumah dan orang-orang yang kami lewati.
Dengan konsentrasi penuh aku mencoba mencari
wajah-wajah yang mungkin kukenali. Mobil yang berjalan perlahan memberi
kesempatan para penumpang untuk melongokkan kepala ke luar jendela, sekedar
memuaskan rasa ingin tahu.
Aku menatap lekat-lekat setiap sisa-sisa puing
rumah, mencari-cari serta mencoba memperhatikan raut wajah orang-orang yang
sedang mengais-ngais puing rumah. Mungkin saja ada yang kukenal atau
mengenalku. Tidak satupun orang-orang yang
kami lewati kukenali. Wajah mereka semua sama. Wajah-wajah lelah dan
Ketakutan.
Penumpang-penumpang lain di mobilku sibuk
dengan pendapat masing-masing, ketika melihat keadaan kota Poso. Aku
membenamkan diri dalam pikiran-pikiranku sendiri. Kotaku yang dulunya sangat
damai, sekarang seperti sebuah kota mati.
Dari jendela mobil aku melihat menara gereja yg menjulang tinggi.
Gereja itu masih utuh berdiri dengan
megah. Rumahku tidak jauh dari kompleks gereja itu, tempat aku dibesarkan.
Rumah yang sarat dengan kehangatan, rumah yang mengajarkan tentang toleransi
dan keberagaman, rumah yang pintunya selalu terbuka bagi siapa saja.
Rumahku
memang tempat berkumpul teman-teman dari seluruh penjuru kota Poso, dan orang
tuaku tidak pernah membatasi atau ikut campur dengan pergaulanku. Teman-teman pergaulanku dari berbagai macam
latar belakang suku dan agama.
Kami bergaul akrab tanpa sekat. Bercanda tentang
kebiasaan maupun dialek suku-suku tertentu menjadi guyonan hari-hari. Tanpa ada
yang tersinggung. Semua begitu cair.
Mobil yang kutumpangi berjalan gontai,
melewati pos-pos pemeriksaan yang dibuat Polisi dan TNI. Di beberapa pos yang agak besar sopir harus turun untuk
melaporkan tujuan perjalanan, sambil menunjukan SIM serta surat-surat kendaraan
lainnya pada anggota Polisi atauTNI.
Angin bertiup menerpa wajahku, membawa
aroma asap menyengat, bau perabotan plastik dan kayu-kayu dari rumah yang terbakar.
Bau-bau yang membawaku pada kenangan masa kecil ketika hampir setiap tahun,
pada musim panas, bukit di belakang kampung
tempat kami tinggal, terbakar.
Suasana
seketika akan ramai. Orang tua, pemuda, maupun anak-anak, akan
beramai-ramai pergi ke arah bukit untuk memadamkan api.
Dan ketika api berhasil
dipadamkan, kami anak-anak akan bersorak gembira sambil kejar-kejaran dan
saling mengoleskan arang pada muka masing-masing. Dari jendela mobil, bukit itu
terlihat jelas. Sekilas aku melihat ada sekelompok orang yang turun ke arah
perkampungan.
Pada
perhentian pos pemeriksaan aku bertanya pada seorang anggota TNI, yang
berjaga di situ, “pak, tadi saya melihat ada sekelompok orang turun dari arah
bukit sana, apakah mereka penduduk di kelurahan itu?”
”Ya, betul. Mereka penduduk kampung di kelurahan itu. Saat terjadi kerusuhan empat hari lalu mereka
mengungsi ke atas bukit sana,” kata si
tentara yang kusimak baik-baik.
“Tadi pagi kami diperintahkan untuk membujuk
masyarakat yang mengungsi ke bukit-bukit itu,
supaya mereka turun saja dan pulang ke rumah masing-masing,” tambahnya.
“ Apakah rumah-rumah mereka tidak terbakar,
pak?” kejarku penasaran. Sambil menatap wajahku dia melanjutkan, “hanya satu
rumah saja yang terbakar di situ.”
Aku
terdiam dan termenung. Berbagai pertanyaan berseliweran di benakku.
Apakah saudara-saudaraku selamat? Mungkinkah ada ibu dan saudara-saudaraku
dalam rombongan yang turun dari bukit tadi? Khawatir, sedih, dan marah mulai
menguasai hatiku.
Pembicaraan penumpang dalam mobil mulai
menyimpulkan, bahwa yang terjadi di Poso adalah konflik bernuansa agama. Aku
tetap diam dengan pikiran-pikiranku sendiri, tetapi telingaku tidak bisa
kututup dari pembicaran mereka.
Dalam hati aku bertanya, ”benarkah
kesimpulan-kesimpulan mereka?” Sebagai orang Poso, yang kuingat dari masa
remajaku, maupun di saat menginjak usia dewasa, hubungan silaturahmi antar
agama di Poso sangat baik.
Saling mengunjungi saat Hari Raya, merupakan hal
wajib dan senantiasa kami lakukan. Terlibat dalam takbiran maupun dalam pawai
Natal atau Paskah adalah lumrah. Berpacaran beda agama, hal biasa. Bahkan
perkawinan beda agama, merupakan hal yang bisa dimengerti dan diterima.
Wajar bagi kami di Poso jika memiliki
paman, tante, sepupu bahkan kakak atau adik kandung yang berbeda agama.
Lalu
mungkinkah konflik yang terjadi ini, merupakan konflik agama? Pertanyaanku
membentur-bentur jendela kaca mobil. Tak ada jawaban yang kudapat berdasar
kenangan-kenangan terhadap kotaku ini.
Dalam pandanganku, secara fisik, Poso
memang telah berubah. Ketika jalur trans
Sulawesi terbuka dan lancar, kota Poso yang strategis karena berada di jantung
Sulawesi, menjadi tujuan orang-orang dari seluruh Sulawesi maupun daerah-daerah
lain di Indonesia.
Poso menjadi tempat ideal bagi dunia usaha. Itulah sebab
mengapa Poso semakin banyak dikunjungi orang-orang dari luar.
Mobil
berjalan terus meninggalkan Poso menuju Makassar, meninggalkan bau asap
dan puing-puing rumah terbakar. Menjelang maghrib kami sudah melewati
perbatasan Propinsi Sulawesi Tengah, memasuki wilayah Sulawesi Selatan.
Matahari mulai tenggelam. Suara azan maghrib mulai terdengar. Pada sebuah
warung, mobil kami berhenti untuk istirahat. Para penumpang berkesempatan untuk sholat maghrib,
dan makan malam. Sambil menunggu pesanan makanku, aku menyeruput kopi.
Kusulut
sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam, sambil terus membiarkan pikiranku
ke mana-mana. Satu-dua wajah kawan-kawanku semasa sekolah dulu, melintas di
benakku.
Tahukah mereka apa yang sesungguhnya terjadi di Poso? Apa penyebab
semua ini?
Cukup lama Poso
kutinggalkan. Banyak hal terjadi, dan sebanyak itu pula yang tidak kuketahui.
Dalam senyap kucoba lagi menggali ingatan dan kenangan lewat
peristiwa-peristiwa yang aku tahu. Kucoba meraba-raba, mencari hubungan antara
ingatan dan keadaan yang terjadi saat ini.
Kucoba mencari jawab: Apa akar semua
ini?
Poso yang kukenal tidak pernah menyimpan benih-benih
permusuhan, dan berujung pada kerusuhan seperti ini.
Apakah kerusuhan ini murni
produk komunitas-komunitas agama maupun suku yang sudah lama tinggal di Poso?
Aku tak menemukan jawaban. Seperti menatap sebuah tembok hitam. Aku tidak menemukan apa-apa, semuanya gelap.
Kopi yang kuminum hampir habis. Malam mulai bertambah malam. Ingatan-ingatan baik tentang kotaku, semakin
membuat dadaku sesak.
Aku seperti terlempar dan menjadi asing di negeriku
sendiri. Kenangan-kenangan masa kecil jauh tak tergapai.
Yang tersisa hanya kecamuk gelisah, bercampur rasa rindu yang tak bisa kujelaskan.
Yang tersisa hanya kecamuk gelisah, bercampur rasa rindu yang tak bisa kujelaskan.
Aku
harus pulang ke Poso.
Pulang ke kota tempat aku dilahirkan dan dibesarkan, apapun yang terjadi.
”Pak, makanannya sudah siap,” sapa pelayan
warung menyadarkanku dari lamunan.
Penulis Jimmy Methusala
Comments
Post a Comment