Berburu Kepala atau Mengayau

Ketika Lipu atau kampung mengalami musibah,wabah penyakit,gagal panen,dll...
Para tetua kampung akan bermusyawarah dan para imam agama suku akan melakukan ritual.
Setelah melakukan ritual mereka akan merembukan hasil dari ritual tersebut.
Kesimpulan yang mereka ambil,akan menentukan tindakan yang akan menyertainya. Jika kemudian kesimpulan itu harus mengorbankan manusia,maka mereka akan segera mempersiapkan perburuan kepala musuh-musuh mereka.
Seorang Prajurit dengan Penutup Kepala kulit binatang yang dihiasi Tanduk
Perburuan Kepala menjadi salah satu jalan keluar.untuk menolak wabah maupun kesialan di Lipu tersebut.
Para ksatria yang di pilih untuk melakukan tugas ini diseleksi melalui ritual yang dilakukan oleh imam-imam agama suku Setelah terpilih para prajurit ini menjalani "laku" yang sudah di tetapkan oleh para imam/pendeta agama suku. Salah satu "laku" yang mereka harus lakukan adalah berpantang atau berpuasa makan binatang atau tumbuhan tertentu. Atau berpantang melakukan hal-hal tertentu. Ketika berangkat untuk mengayau biasanya mereka di bekali dengan beras yang sudah di mantrai. Beras itu harus di letakkan di sekitar kampung yang akan di serang. Beras di percaya dapat memerangkap jiwa musuh ketika mereka menginjaknya. Saat itu para nenek moyang mempercayai beras memiliki jiwa, yang dinamakan Tanoana Pae,atau Tanoana Pare. Beras di yakini sebagai sepupu dari manusia. Para Pengayau berangkat dengan membekali diri dengan perlengkapan perang.
Senjata yang mereka bawa saat mengayau adalah parang dalam bahasa lokal di sebut Penai atau Piho, Tombak dan juga Kanta atau perisai.
Kepala yang berhasil di peroleh dalam perburuan itu akan di letakan di Lobo (Rumah Besar untuk tempat ritual.)
Beberapa orang Prajurit yang memakai Siga atau ikat kepala
Kepala musuh-musuh ini di yakini akan menambah kewibawaan bagi Lipu tersebut. Berburu kepala juga menjadi ujian bagi para pemuda dan juga sebagai pengakuan eksistensi mereka sebagai seorang prajurit tangguh. Para pemuda ini akan di anggap layak dalam menentukan masa depan Lipu dan Klan jika berhasil membawa pulang kepala musuh.
Jika mereka pulang dengan membawa kemenangan,orang-orang yang menunggu di kampung atau Lipu akan menyambut dengan pesta yang meriah. Tarian penyambutan akan dilakukan oleh para gadis. Pada suku Pamona tarian penyambutan para pahlawan ini di sebut motaro. Sedangkan pada suku Pekurehua tarian ini di sebut Modengki. Ada juga tarian yang dilakukan secara pribadi oleh orang yang pulang mengayau yang di tarikan sambil menenteng kepala musuh yang berhasil di ambilnya.
Parang Tradisional Poso yang dinamakan Penai atau Piho
Ada keyakinan bahwa ilmu kanuragan dan wibawa dari musuh yang berhasil di bunuh akan berpindah pada orang yang berhasil membunuhnya. Kebiasaan mengayau ini sama sekali tidak bermotif untuk menguasai wilayah musuh,tetapi menjadi bagian dari sesuatu yang sifatnya spiritual.
Kebiasaan mengayau ini hilang dengan sendirinya ketika agama-agam samawi masuk.


Penulis Jimmy Methusala.

Comments